Semenjak menikah, pengeluaran saya semakin besar. Sebabnya saya pikir-pikir timbul dari pola hubungan saya dan istri yang berjauhan satu-sama lain. Efeknya, harus ada pos anggaran "rindu" agar kami dapat bertemu secara teratur a.k.a untuk membeli "jarak" itu, belum lagi anggaran bulanan yang harus kami keluarkan masing-masing sehingga kurang efisien. Jika hal ini tidak diatur secara baik, tentu akan menimbulkan kebangkrutan, apalagi jika diikuti dengan pola hidup konsumtif.
Sebagai suami, saya memegang teguh prinsip "harta suami adalah harta istri, harta istri adalah harta istri", sehingga meskipun istri saya juga bekerja sebagai apoteker di Jogja, saya tidak mau mengutak-atik penghasilan yang diperolehnya. Saya berharap bahwa penghasilannya itu bisa ia simpan untuk kebutuhannya sendiri nanti, atau untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang hadir sewaktu-waktu. Praktis, penghasilan saya harus cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berdua, ongkos rindu, dan harus tetap ada sebagian yang disisihkan untuk tabungan.
Tentu saja, agar kantong tidak jebol, kami harus mampu mengatur penggunaan penghasilan saya sebagai PNS yang tidak seberapa itu. Belum lagi dengan impian kami untuk memiliki rumah sendiri di Jakarta. Wah, tambah mumet kalau hanya dipikirkan. Perlu usaha untuk melakukan manajemen yang tepat agar semua kebutuhan terpenuhi di samping untuk saving sebagai antisipasi kebutuhan di masa depan.
Sebagai suami, saya memegang teguh prinsip "harta suami adalah harta istri, harta istri adalah harta istri", sehingga meskipun istri saya juga bekerja sebagai apoteker di Jogja, saya tidak mau mengutak-atik penghasilan yang diperolehnya. Saya berharap bahwa penghasilannya itu bisa ia simpan untuk kebutuhannya sendiri nanti, atau untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang hadir sewaktu-waktu. Praktis, penghasilan saya harus cukup untuk memenuhi kebutuhan kami berdua, ongkos rindu, dan harus tetap ada sebagian yang disisihkan untuk tabungan.
Tentu saja, agar kantong tidak jebol, kami harus mampu mengatur penggunaan penghasilan saya sebagai PNS yang tidak seberapa itu. Belum lagi dengan impian kami untuk memiliki rumah sendiri di Jakarta. Wah, tambah mumet kalau hanya dipikirkan. Perlu usaha untuk melakukan manajemen yang tepat agar semua kebutuhan terpenuhi di samping untuk saving sebagai antisipasi kebutuhan di masa depan.
Pertama, perlu dipilah dulu mana kebutuhan yang tidak bisa tidak dipenuhi dan kebutuhan yang optional. Untuk kebutuhan seperti biaya hidup sehari-hari, angsuran kredit motor, biaya kos dan ongkos rindu, kami tak bisa menawarnya, artinya itu harus dipenuhi. Dan itu menghabiskan kurang lebih seperdua bagian dari penghasilan saya. Artinya paling tidak ada sisa seperdua bagian lain yang tersedia untuk ditabung. Tetapi saya tidak ingin nilai uang yang saya tabung itu turun, sebab inflasi akan memengaruhi daya beli/nilai uang, bahkan jika memungkinkan nilai uang saya itu naik. Tapi adakah yang semacam ini?
Setelah dimusyawarahkan, akhirnya kami berikhtiar untuk melakukan saving dalam bentuk logam mulia, dalam kasus ini, saya menyimpannya dalam bentuk dinar. 1 dinar, adalah emas 22 karat dengan berat 4,25 gram. Sebagaimana diketahui bahwa harga emas cenderung stabil dan relatif tidak terpengaruh inflasi,bahkan nilainya cenderung naik, maka menyimpan tabungan dalam bentuk logam mulia/dinar merupakan salah satu solusi. Sebagai contoh, pada pertengahan Agustus 2012 lalu saya membeli dinar untuk mahar pernikahan saya, 1 dinar sekitar 2.240.000an, sekarang (17/10/2012) 1 dinar telah mencapai 2.323.245. Artinya dalam waktu tidak sampai dua bulan telah terjadi peningkatan nilai hampir 90.000.
Lantas saya mendapat gambaran biaya ONH dalam rupiah berbanding nilainya dalam satuan gram emas sebagai berikut:
2,323,245
- Tahun 2001 Kepres no. 97 tahun 2000 ONH Rp.22.000.000 setara 258gr emas
- Tahun 2002 Kepres no. 99 tahun 2001 ONH Rp.25.358.798 setara 316gr emas
- Tahun 2003 Kepres no. 55 tahun 2002 ONH Rp.25.799.728 setara 276gr emas
- Tahun 2004 Kepres no. 45 tahun 2003 ONH Rp.22.998.800 setara 244gr emas
- Tahun 2005 Kepres no. 49 tahun 2004 ONH Rp.26.143.353 setara 220gr emas
- Tahun 2006 Kepres no. 70 tahun 2006 ONH Rp.26.733.873 setara 142gr emas
- Tahun 2007 Kepres no. 20 tahun 2007 ONH Rp.26.215.316 setara 141gr emas
- Tahun 2008 Kepres no. 53 tahun 2008 ONH Rp.32.026.130 setara 129gr emas
- Tahun 2009 Kepres no. 41 tahun 2009 ONH Rp.33.479.248 setara 108gr emas
- Tahun 2010 Kepres no. 51 tahun 2010 ONH Rp.30.443.108 setara 88gr emas
- Tahun 2011 Kepres no. - tahun 2011 ONH Rp.30.822.332 setara 62gr emas
Perhatikan tahun 2001 butuh 258gr emas untuk bisa naik haji, sedangkan pada tahun 2011 hanya dibutuhkan 62 gr emas. Jumlah gram emas yang dibutuhkan untuk naik haji justru menurun dari tahun 2001, padahal dilihat dari nilai rupiahnya mengalami peningkatan.
Gambaran ini kemudian membawa saya untuk menjadikan logam mulia/dinar sebagai alat saving. Saya sempat berdiskusi dengan beberapa orang soal apakah akan mengambil dinar atau logam mulia. Setelah menimbang-nimbang akhirnya saya memutuskan untuk mengambil dinar sebagai saving. Prinsipnya sama dengan emas batangan, tidak ada yang berbeda. Hanya, metode yang saya pakai ini tidak mengharuskan kita untuk menyimpan emasnya, karena ada layanan purna jual dinar yang melayani penyimpanan dinar dengan sistem online. Lain kali barangkali akan saya tuliskan pengalaman saya. Tapi sementara, silakan mengunjungi situsnya di sini.
Gambar dari sini