Sahabat, suatu ketika ada seorang yang mengaku sebagai pelukis. Ia mengklaim bahwa ia sudah menjadi pelukis selama berpuluh-puluh tahun. Anehnya ketika diminta untuk melukis ia tidak mampu, teknik mencampur warna dan beberapa teknik menggoreskan kuas di atas kanvas juga ia tidak bisa. Bahkan, ia juga tidak pernah menghasilkan karya meski hanya satu.
Sahabat, kira-kira terhadap orang semacam itu, apakah engkau percaya atas klaimnya yang menyatakan bahwa ia pelukis? Apakah engkau rela menyematkan gelar pelukis kepadanya, padahal ia sama sekali tidak memiliki kompetensi sebagai pelukis?
Saya kira, sebagai orang yang masih mempunyai akal sehat, engkau akan mengingkari klaimnya itu. Demikian pula diriku, Sahabat.
Kisah di atas hanyalah ilustrasi. Barangkali tidak pernah ada yang demikian di dunia ini, tetapi jika yang dimaksud adalah memiliki intisari yang sama, maka kita akan menemukan banyak hal yang kadang itu hanyalah klaim-klaim kosong tak bermakna. Sebuah pertanyaan sederhana misalnya, “Sudah berapa lama kita menjadi seorang Muslim?”
Sejak lahirkah? 15 tahun, 20 tahun, 25 tahun atau bahkan lebih? Lantas, apakah ketika kita mengklaim diri sebagai seorang Muslim, berikrar: “Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim!” kita telah memiliki kriteria untuk disebut sebagai seorang Muslim? Sudahkah kita menjalankan syarat-syarat keislaman kita?
Barangkali jawaban atas pertanyaan sudah berapa lama kita menjadi Muslim tidaklah terlalu penting untuk dibahas. Yang lebih penting sebenarnya adalah, sudah berapa lama kita sadar bahwa kita adalah seorang Muslim! Karena betapa banyak orang yang mengaku Muslim, tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka belum menjadi Muslim; mengaku Muslim padahal perilakunya sama sekali tidak mencerminkan perilaku seorang Muslim; atau mengaku Muslim, tapi ternyata mereka sudah tidak lagi menjadi Muslim.
Masih ingat peran yang diperankan Andre Stinky dalam film Kiamat Sudah Dekat? Dalam film itu digambarkan bahwa ia tidak tahu apakah ia sudah dikhitan atau belum. Sehingga untuk mengetahuinya Pak Haji harus mengeceknya secara langsung. Sesuatu yang ironis, tapi mungkin memang begitu kondisi nyata di masyarakat.
Barangkali kita mengakui bahwa Allah adalah tuhan semesta Alam. Secara umum, Islam itu terkandung dalam rukun Islam: syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji bila mampu. Kunci utamanya adalah syahadat. Sehingga seseorang disebut Muslim, jika ia telah bersyahadat.
Diterangkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim: Dari Abu Dzar r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa mengucapkan, 'Laa ilaaha illallaah,' kemudian meninggal, maka pasti masuk surga." Hadis semacam ini masih ada beberapa lagi. Intinya bahwa seorang yang sudah bersyahadat akan masuk surga. Maka beruntunglah mereka yang telah bersyahadat.
Ini adalah kabar gembira bagi kaum Muslimin, namun sayangnya hal ini seringkali dipahami secara salah bahwa kalau sudah berucap kalimat Laa Ilaha Ilallaah (syahadat) maka otomatis masuk surga, meski ia berdosa. Sebuah pemahaman yang berbahaya dan berakibat fatal. Mengapa? Karena ternyata ikrar syahadat itu bisa batal, sebagaimana shalat dan puasa bisa batal.
Lihatlah sejarah! Tersebutlah kisah pasca perang Tabuk, tatkala beberapa orang berolok-olok tentang para shahabat dan rasul-Nya. Lantas hal ini disampaikan pada rasulullah, dan turunlah ayat:
Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman..” (Q.s. at-Taubah [9]: 65-66).
Ketika itu, mereka lantas berpegangan pada pelana unta Rasulullah dan mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bersendau gurau dan bermain-main saja.”
Selain syahadat, masih banyak amal-amal lain yang barangkali ketika kita tinggalkan maka status keislaman kita bisa dicabut oleh Allah, dan akhirnya benar-benar hanya sebagai status di tanda pengenal. Sampai-sampai ada anekdot, “Yang islam itu orangnya atau KTP-nya? Kalau yang Islam itu KTP-nya maka yang masuk surga adalah KTP-nya.”
Banyak dalil yang menyebutkan hal itu.
“Pembeda antara seorang Muslim dengan seorang musyrik dan kafir adalah meninggalkan shalat” (H.r. Muslim dan lainnya).
“Tali Islam dan pilar agama itu ada tiga, semua itu merupakan dasar Islam, siapa yang meninggalkan salah satu dari ketiganya maka dia itu kafir dan halal darahnya, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, shalat fardhu, dan puasa Ramadhan” (H.r. Abu Ya’la dan Dailami, dishahihkan oleh adz-Dzahabi).
Lantas, bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim?
Banyak yang harus kita kerjakan. Sesungguhnya tugas manusia di dunia ini adalah untuk bertakwa. Dan bertakwa itu adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Seorang Muslim yang ingin mengerjakan ketaatan, maka ia harus mengetahui bagaimana hakikat ketaatan dan perbuatan apa saja yang bisa mengantarnya pada ketaatan. Sementara seorang Muslim yang ingin menjauhi larangan-Nya, maka ia harus mengetahui apa saja yang dilarang oleh Allah. Dan dua hal ini bermuara pada ilmu. Karenanya islam mewajibkan pemeluknya untuk mencari ilmu, lantas mengamalkannya.
Wallahu A’lam.
*repost from my other blog