Dalam Dekapan Ukhuwah by Salim A. Fillah
My rating: 4 of 5 stars
Menjadi pembaca pertama adalah sebuah beban. Sebab, jika ada kesalahan di sana, maka itu akan dilimpahkan kepada sang pembaca pertama. Maka, saya mencoba melakukan peran itu sebaik mungkin, meski dengan sebuah risiko: fokus saya bukan pada isi, tapi pada teks! Namun, meski terfokus pada teks, bukan berarti saya lantas kehilangan kontak dengan isi buku ini. Barangkali jika diprosentasekan menjadi 60 % teks, 40% isi.
Baiklah, Dalam dekapan Ukhuwah, sejatinya naskahnya telah hadir semenjak sebelum Maret 2010, tetapi karena satu dan lain hal akhirnya dilakukan revisi besar-besaran, agar buku kecil ini lebih berdaya dalam merekatkan ukhuwah kaum Muslimin yang saat ini seolah tercabik. Setiap kubu yang ada merasa benar, semua mengemukakan dalil masing-masing, dan semuanya ingin menang sendiri. Sebuah kondisi yang jauh dari ukhuwah. Ukhuwah, akhirnya “bagai api dan kayu, bersama menyala” atau ia bagaikan “awan dan hujan,” yang digambarkan Salim “merasa menghias langit, menyuburkan bumi, dan melukis pelangi,” padahal, hakikatnya dua eksistensi itu saling meniadakan.
Dalam dekapan Ukhuwah, kita akan belajar banyak dari para shahabat, bagaimanapun tetap ada sisi manusia dari diri mereka, sebuah keunikan, dan perbedaan yang ada di kalangan mereka. Namun semua perbedaan itu tetap coba mereka pahami dalam sebuah bingkai yang indah: Ukhuwah. Bahkan ketika perbedaan itu semakin meruncing, mereka tetap menghormati satu sama lain. Tidak ada yang merasa lebih utama dari yang lain.
Kita lihat bagaimana Ali ketika harus berhadapan dengan Talhah dan az-Zubair dalam perang Waq’atul Jamal, mereka masih bisa melakukan reuni bersama, saling mendamaikan hati. Kita lihat pula bagaimana Muawiyah berkata tentang Ali yang karena takdir Allah harus berada di pihak yang berseberangan: “Demi Allah, memang benarlah apa yang engkau katakan tentang ayah si Hasan, moga-moga Allah merahmatinya.”
Di sini, kita melihat sebuah hubungan dengan mengintrospeksi diri dari dalam, karena sesungguhnya saudara kita adalah cermin, cermin yang menunjukkan segala yang terpancar dari diri kita. Maka kita berusaha memperbaiki diri, bermetamorfosa menjadi kepompong lalu dengan ilmu-Nya kita menjadi kupu-kupu indah, “melantunkan kebaikan di antara bunga, menebarkan keindahan pada dunia.” Kita belajar bagaimana menyikapi perbedaan, karena tidak setiap kita memiliki ukur baju yang sama. Selalu ada celah untuk berbeda. Maka nasihatilah dengan hikmah jika ada yang keluar jalur, dan terimalah jika ia hanya khilafiyah. Dengan begitulah, kekuatan islam akan bersatu dan khilafah bukan lagi hal yang jauh dari angan.
View all my reviews
My rating: 4 of 5 stars
Menjadi pembaca pertama adalah sebuah beban. Sebab, jika ada kesalahan di sana, maka itu akan dilimpahkan kepada sang pembaca pertama. Maka, saya mencoba melakukan peran itu sebaik mungkin, meski dengan sebuah risiko: fokus saya bukan pada isi, tapi pada teks! Namun, meski terfokus pada teks, bukan berarti saya lantas kehilangan kontak dengan isi buku ini. Barangkali jika diprosentasekan menjadi 60 % teks, 40% isi.
Baiklah, Dalam dekapan Ukhuwah, sejatinya naskahnya telah hadir semenjak sebelum Maret 2010, tetapi karena satu dan lain hal akhirnya dilakukan revisi besar-besaran, agar buku kecil ini lebih berdaya dalam merekatkan ukhuwah kaum Muslimin yang saat ini seolah tercabik. Setiap kubu yang ada merasa benar, semua mengemukakan dalil masing-masing, dan semuanya ingin menang sendiri. Sebuah kondisi yang jauh dari ukhuwah. Ukhuwah, akhirnya “bagai api dan kayu, bersama menyala” atau ia bagaikan “awan dan hujan,” yang digambarkan Salim “merasa menghias langit, menyuburkan bumi, dan melukis pelangi,” padahal, hakikatnya dua eksistensi itu saling meniadakan.
Dalam dekapan Ukhuwah, kita akan belajar banyak dari para shahabat, bagaimanapun tetap ada sisi manusia dari diri mereka, sebuah keunikan, dan perbedaan yang ada di kalangan mereka. Namun semua perbedaan itu tetap coba mereka pahami dalam sebuah bingkai yang indah: Ukhuwah. Bahkan ketika perbedaan itu semakin meruncing, mereka tetap menghormati satu sama lain. Tidak ada yang merasa lebih utama dari yang lain.
Kita lihat bagaimana Ali ketika harus berhadapan dengan Talhah dan az-Zubair dalam perang Waq’atul Jamal, mereka masih bisa melakukan reuni bersama, saling mendamaikan hati. Kita lihat pula bagaimana Muawiyah berkata tentang Ali yang karena takdir Allah harus berada di pihak yang berseberangan: “Demi Allah, memang benarlah apa yang engkau katakan tentang ayah si Hasan, moga-moga Allah merahmatinya.”
Di sini, kita melihat sebuah hubungan dengan mengintrospeksi diri dari dalam, karena sesungguhnya saudara kita adalah cermin, cermin yang menunjukkan segala yang terpancar dari diri kita. Maka kita berusaha memperbaiki diri, bermetamorfosa menjadi kepompong lalu dengan ilmu-Nya kita menjadi kupu-kupu indah, “melantunkan kebaikan di antara bunga, menebarkan keindahan pada dunia.” Kita belajar bagaimana menyikapi perbedaan, karena tidak setiap kita memiliki ukur baju yang sama. Selalu ada celah untuk berbeda. Maka nasihatilah dengan hikmah jika ada yang keluar jalur, dan terimalah jika ia hanya khilafiyah. Dengan begitulah, kekuatan islam akan bersatu dan khilafah bukan lagi hal yang jauh dari angan.
View all my reviews