“Tetapi kata dapat mengubah jiwa manusia dan sesungguhnya, pada jiwa yang berubah terletak perubahan yang niscaya bagi dunia dan kehidupan” (M.Fauzil ‘Adhim, Inspiring Words for Writers)
Menulis adalah hak semua orang, dan apa saja bisa dituliskan. Bahkan saking banyaknya hal yang bisa dituliskan, kita takkan pernah mampu menuangkan semuanya ke dalam tulisan. Menulis, sejatinya merupakan panggilan jiwa. Ya, sebuah panggilan jiwa untuk berbagi. Panggilan jiwa ini, boleh jadi, pada sebagian orang diwujudkan dengan media lisan, ada pula yang mengungkapnya lewat tulisan. Namun, apa pun kemudian medianya, substansinya sama: berbagi.
Seseorang yang ingin berbagi, tentu saja harus memiliki sesuatu untuk dibagi. Sebagaimana ungkapan, “Teko berisi teh hanya akan mengeluarkan teh dan tidak akan mengeluarkan selainnya,” maka seseorang tidak akan pernah berbagi sesuatu yang tidak pernah ia punyai. Bagaimana mau memberi jika ia tidak punya?
Hal yang sama agaknya juga berlaku dalam berbagi dengan menulis. Kita tidak akan bisa menuliskan sesuatu yang tidak kita punya konsepnya, sesuatu yang masih samar bagi pikiran kita. Jika pun kemudian kita paksakan, maka hasilnya akan hambar, kering dan tidak enak dibaca, meskipun ia berisi kata berbunga-bunga.
Maka, seringkali selepas membaca sesuatu, baik majalah, artikel atau buku, di benak kita muncul ide-ide yang menanti dituangkan ke dalam tulisan atau sekadar pikiran-pikiran untuk didiskusikan. Terasa tangan kita sudah gatal untuk mengambil pena dan kertas atau duduk di depan komputer mengetikkan kata demi kata. Sesuatu yang wajar dan sangat normal. Pikiran kita baru saja menerima informasi, dan ia menuntut agar informasi itu dibagi.
Barangkali hal itu tidak berbeda dengan ketika kita menyaksikan kejadian-kejadian istimewa, kecelakaan beruntun, binatang ajaib, dan lain-lain yang menurut kita di luar kebiasaan. Selepasnya, tentu kita ingin menceritakannya kepada orang lain. Kita ingin membagi pengalaman kita, merangkai kalimat demi kalimat meski keluarannya hanya melalui lisan. Maka begitu pulalah menulis. Hanya medianya saja yang berbeda.
Itulah fitrah manusia untuk berbagi. Berbagi adalah sesuatu yang menyenangkan, kecuali bagi jiwa yang sudah tidak memiliki kepedulian selain kepada dirinya sendiri. Bahkan jiwa yang semacam itu pun tetap punya hasrat berbagi, meski dengan maksud lain. Agar dipuji, agar dikatakan baik hati, dermawan dan sebagainya.
Berbagi, bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja, di mana saja. Kemajuan teknologi telah memudahkan langkah kita untuk berbagi. Dengan kemajuan teknologi, kita bisa terhubung dengan banyak orang secara massal melalui email, jejaring sosial, blog, microblogging dan sebagainya yang memungkinkan berbagi menjadi lebih efektif dan efisien. Seseorang bisa menulis sebuah artikel, lalu mempublishnya ke blog, jejaring sosial dan media lainnya dan bisa segera dibaca oleh orang banyak.
Ya, menulis adalah berbagi. Namun demikian, berbagi punya dimensi-dimensi tersendiri. Ada jenis-jenis berbagi. Ada banyak hal yang bisa kita bagi, tapi tidak semuanya perlu kita bagi, bahkan sebagiannya wajib kita tutup rapat dari kemungkinan dibagi. Apa misalnya?
Misalnya adalah aib. Kita tidak boleh membagi aib. Bahkan harus ditutup rapat-rapat. Jika aib sendiri saja diperintahkan untuk ditutupi, maka apatah lagi aib orang lain. Apakah seseorang bisa menyebarkan aibnya sendiri? Jawabnya bisa, bahkan sangat mungkin. Dengan kemajuan teknologi, sangat mudah menyebarkan aib sendiri. Misalnya menuliskannya pada status FB atau mengunggah foto atau video yang memuat aib kita ke internet.
Ada pula informasi yang lebih baik tidak dibagi kepada umum karena sifatnya yang rawan untuk disalahtafsirkan, atau informasi yang tidak penting untuk diketahui oleh orang banyak. Nah, informasi-informasi semacam ini sebaiknya tidak perlu dibagi, kecuali pada pihak yang tepat. Karena ia hanya akan menjadi beban informasi, dengan kata lain sampah informasi.
Jika demikian, lantas apa yang harus kita tuliskan? Tentu saja ada banyak hal. Tetapi sebagai gambaran, ada koridor tentang hal-hal apa yang bisa kita tuliskan dan bagikan kepada orang lain:
- Tulislah sesuatu yang bermanfaat. Ia bisa bersifat informatif, langkah-langkah mengerjakan sesuatu atau hal lain yang dibutuhkan oleh orang lain. Tidak ada batasan tema dalam hal ini. Tema tulisan kita bisa berkisar soal pengalaman sehari-hari, tips-tips melakukan suatu pekerjaan, tentang teknologi atau apa saja. Yang utama adalah informasi itu berguna dan tidak menyesatkan.
- Tulislah sesuatu yang engkau kuasai. Bisa seputar persoalan yang seringkali kita hadapi atau solusi atas suatu masalah yang mungkin engkau ketahui. Barangkali di antara pembaca ada yang mengalami persoalan yang sama. Apa saja, meski tak jarang ia terlihat sederhana. Karena solusi yang terlihat sederhana itu mungkin bisa sangat berarti bagi orang yang mengalami.
- Tulislah sesuatu yang menginspirasi, membangun semangat, membuat orang yang membacanya menemukan makna-makna baru, baik atas kejadian atau hal baru, atau atas kejadian lama tetapi dengan makna baru, sehingga ia dapat menjalani rutinitas hidupnya dengan lebih dinamis.
- Tulislah sesuatu yang mendekatkan diri kepada-Nya. Karena bukankah kita berawal dari-Nya dan berpulang kepada-Nya? Dan untuk ini, tidak ada satu kalimat yang lebih baik dari nasihat, dan nasihat terbaik adalah apa yang kita dapati dalam al-Qur`an.
Asas manfaat adalah poin utama yang perlu diperhatikan. Sebab, buat apa kita menulis jika ternyata tidak membawa manfaat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Apalagi jika tulisan itu hanya akan membuat rantai keburukan yang baru untuk generasi setelah kita. Na’udzubillahi min dzalik.
Tetapi jika dengan tulisan itu ada orang yang merasakan manfaat serta memberikan nilai tambah baginya, maka itulah hakikat berbagi yang sebenarnya. Ada manfaat yang kita semaikan. Dan bukankah manusia terbaik itu adalah manusia yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya?
Ibnu Al-Jauzi memberikan sebuah petuah bijak, “Dengan lisan aku hanya bisa menyampaikan ilmu hanya kepada sejumlah orang, sedangkan dengan tulisan aku dapat menyampaikanya kepada orang yang tidak terbatas yang hidup sesudahku.” Ini artinya, jika kita menampilkan tulisan yang baik, yang bermanfaat, yang mengarahkan manusia pada kebaikan dan kedekatan kepada Rabbnya, bukankah ini salah satu aset jariyah yang senantiasa mengalir pahalanya?
“Barangsiapa yang mengajak (seseorang) kepada petunjuk (kebaikan), maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun” (HR. Muslim, No. 2674).
Menulis, adalah upaya untuk membangun diri. Menulis menuntut kita lebih banyak memikirkan dan merenungkan, juga mentadabbur segala hal yang terjadi. Karenanya, ia bisa menjadi salah satu upaya kita untuk menghidupkan hati. Karena hati hanya bisa disentuh oleh hati, maka tulisan yang menyentuh, yang menggugah dan memotivasi hanya bersumber dari hati yang sudah hidup, bukan hati yang mati. Maka, memotivasi diri sendiri terlebih dahulu adalah salah satu kunci keistiqamahan dalam berbagi kebaikan. Jadilah teladan, setidaknya untuk cermin diri. Agar diri pun dimampukan dalam berbagi kata. Dengan berbagi, waktu pun tak berlalu sia-sia. Karena, setiap waktu penuh dengan kemanfaatan untuk sesama dan semesta.
Ketika kebaikan sudah diujung jari, jangan ragu untuk menuangkannya ke dalam lembar kehidupan.Karena kebaikan bukan hanya milik kita sendiri. Ya, menulis adalah berbagi. Maka menulislah…
Wallahu a’lam
*Sebuah diskusi aksara antara Farid Ikhsan Asbani dan Fayza Sari, dimuat di fimadani.com