Malam itu, di sebuah serambi milik Pak RW, seorang lelaki paruh baya terlihat duduk gelisah, dikelilingi beberapa orang yang sibuk menghalau warga yang ingin memukuli lelaki tersebut. Rupanya ia adalah maling yang tertangkap tangan mencuri HP lalu lari masuk ke kampung dan akhirnya tertangkap oleh warga. Tidak tanggung-tanggung, 4 HP ia gasak. Tentu saja ketika ditanya, dia mengaku bahwa semua HP itu adalah miliknya belaka. Terdorong oleh rasa kesal, tidak sedikit warga yang kemudian urun tangan menjotos muka orang itu. Beruntung para tokoh kampung kemudian berhasil menghalau warga yang terlanjur marah tersebut.
Demi melihat kejadian tersebut, saya lalu mendekati seorang bapak-bapak muda, barangkali berusia sekitar 35 tahun. Setelah dijelaskan kronologi ceritanya, kami pun terlibat pembicaraan tentang perilaku main hakim sendiri oleh warga. Ia menyayangkan sikap warga yang melakukannya sebab setiap perbuatan sejatinya akan ada ada imbal baliknya, kalau tidak di dunia, pasti di akhirat, atau dalam istilah hukumnya disebut qishas. Jika seseorang tanpa hak memukuli atau menghakimi sendiri seorang maling, maka tunggu saja qishasnya, begitu tutur beliau. Qishasnya, lanjut beliau, bisa berupa kejadian apa saja, bisa kejedot pintu, jatuh, atau bahkan tertabrak kendaraan. “Makanya hati-hati, Dik, jangan berbuat sesuatu tanpa hak, wa man ya'mal mitsqaaladzarratin syarran yarah,” nasihat beliau. Diam-diam, saya mengiyakannya di dalam hati.
Perilaku main hakim sendiri agaknya sudah lazim terjadi di negeri ini. Bahkan tidak jarang terjadi salah sasaran. Jika sudah begini, tanggung jawab siapa? Orang-orang tanpa hak apa pun, dengan mengatasnamakan hukum bertindak mengadili seseorang, tanpa ada pembelaan, dan tak jarang berujung pada kematian. Ini adalah sebuah kezaliman. Padahal, sebuah perbuatan selalu menghasilkan akibat. Apalagi jika perbuatan itu adalah perbuatan yang tidak dibenarkan:“Akibat buruk perbuatan dosa hanya akan kembali kepada pelakunya sendiri. Maka, barang siapa berbuat dosa, berarti telah merugikan diri sendiri dan akan merasakan sendiri akibatnya” (Qs. An-Nisaa` [4]: 111).
Maka, tidak hanya aksi main hakim sendiri, segala sesuatu yang kita lakukan yang pada hakikatnya menyalahi kebenaran pastilah mendatangkan akibat bagi kita, entah segera ataupun nanti. “Seseorang yang cerdas,” kata Ibnu al-Jauzi, “wajib mewaspadai bahaya kemaksiatan, karena apinya tersembunyi di bawah abu. Mungkin hukumannya tidak didatangkan segera, namun kemudian ia ditimpakan secara tiba-tiba. Tidak menutup kemungkinan ia juga bisa didatangkan segera.” Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Sirin rahimahullah menceritakan, “Saya menghina seseorang karena kemiskinannya, lalu saya sendiri jatuh miskin 40 tahun kemudian.”
Begitulah, semoga tulisan singkat ini mampu menyemangati kita, terutama diri saya sendiri untuk selalu memikirkan akibat dari suatu perbuatan, sehingga kita selalu waspada dan terhindar melakukan perbuatan dosa. Wallahu a'lam.
Demi melihat kejadian tersebut, saya lalu mendekati seorang bapak-bapak muda, barangkali berusia sekitar 35 tahun. Setelah dijelaskan kronologi ceritanya, kami pun terlibat pembicaraan tentang perilaku main hakim sendiri oleh warga. Ia menyayangkan sikap warga yang melakukannya sebab setiap perbuatan sejatinya akan ada ada imbal baliknya, kalau tidak di dunia, pasti di akhirat, atau dalam istilah hukumnya disebut qishas. Jika seseorang tanpa hak memukuli atau menghakimi sendiri seorang maling, maka tunggu saja qishasnya, begitu tutur beliau. Qishasnya, lanjut beliau, bisa berupa kejadian apa saja, bisa kejedot pintu, jatuh, atau bahkan tertabrak kendaraan. “Makanya hati-hati, Dik, jangan berbuat sesuatu tanpa hak, wa man ya'mal mitsqaaladzarratin syarran yarah,” nasihat beliau. Diam-diam, saya mengiyakannya di dalam hati.
Perilaku main hakim sendiri agaknya sudah lazim terjadi di negeri ini. Bahkan tidak jarang terjadi salah sasaran. Jika sudah begini, tanggung jawab siapa? Orang-orang tanpa hak apa pun, dengan mengatasnamakan hukum bertindak mengadili seseorang, tanpa ada pembelaan, dan tak jarang berujung pada kematian. Ini adalah sebuah kezaliman. Padahal, sebuah perbuatan selalu menghasilkan akibat. Apalagi jika perbuatan itu adalah perbuatan yang tidak dibenarkan:“Akibat buruk perbuatan dosa hanya akan kembali kepada pelakunya sendiri. Maka, barang siapa berbuat dosa, berarti telah merugikan diri sendiri dan akan merasakan sendiri akibatnya” (Qs. An-Nisaa` [4]: 111).
Maka, tidak hanya aksi main hakim sendiri, segala sesuatu yang kita lakukan yang pada hakikatnya menyalahi kebenaran pastilah mendatangkan akibat bagi kita, entah segera ataupun nanti. “Seseorang yang cerdas,” kata Ibnu al-Jauzi, “wajib mewaspadai bahaya kemaksiatan, karena apinya tersembunyi di bawah abu. Mungkin hukumannya tidak didatangkan segera, namun kemudian ia ditimpakan secara tiba-tiba. Tidak menutup kemungkinan ia juga bisa didatangkan segera.” Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Sirin rahimahullah menceritakan, “Saya menghina seseorang karena kemiskinannya, lalu saya sendiri jatuh miskin 40 tahun kemudian.”
Begitulah, semoga tulisan singkat ini mampu menyemangati kita, terutama diri saya sendiri untuk selalu memikirkan akibat dari suatu perbuatan, sehingga kita selalu waspada dan terhindar melakukan perbuatan dosa. Wallahu a'lam.