Gambar: depositphotos |
Tulisan-tulisan saya dahulu, menurut saya, meski tanpa penguasaan EYD maupun aturan-aturan dalam kaidah menulis sebagaimana yang saya dapat dalam proses berjalannya waktu, terasa lebih berbobot. Berbobot secara isi—tanpa melihat EYD dan teknik penulisan. Yang saya rasakan, tulisan itu lebih memiliki spirit yang utuh. Ini bukan membesar-besarkan tulisan terdahulu saya atau memaksa Anda mengakui bahwa tulisan saya yang dulu memang bagus, bukan itu. Tapi perbandingan ini semata saya lakukan untuk proses evaluasi. Kira-kira apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan hal ini? Atau, barangkali Anda juga mengalami hal yang sama?
Dalam sebuah sharing penulis yang diadakan Pro-U Media beberapa tahun silam, Mohammad Fauzhil Adhim, salah satu guru menulis di negeri ini, mengemukakan bahwa ia mengalami dilema yang sama. Ia bercerita bahwa karya-karya awal yang ditulis dalam kondisi "belum" menguasai kaidah-kaidah menulis yang baik, ia rasakan lebih memiliki kekuatan daripada karya-karyanya yang belakangan. Hal itu, menurut beliau bukan karena penguasaan EYD dan teknik menulis, tetapi lebih karena motivasi. Pada waktu awal itu, beliau menulis karena gelisah. Gelisah terhadap kondisi sekitar, maka karena itulah beliau menulis. Sehingga, apa yang beliau tulis benar-benar representasi dari persoalan yang ada pada waktu itu, dan beliau menulis untuk menyajikan solusi. Karena itulah, menurutnya buku-bukunya yang awal lebih banyak dicari daripada yang belakangan. Begitu kurang lebih menurut penuturan beliau.
Sementara itu, masih menurut beliau, tulisan dalam buku-buku dengan tema yang dipesan oleh penerbit dirasakan kurang memiliki "kekuatan" yang menggerakkan. Barangkali ini memang soal persepsi pribadi, tetapi persepsi seseorang terhadap apa yang ditulisnya adalah sebuah evaluasi yang layak untuk direnungkan. Bukan berarti bahwa persepsi beliau tersebut lantas menjadi bukti bahwa tulisan beliau yang belakangan lebih rendah kualitasnya dari tulisan pada periode awal. Yang menjadi penekanan di sini adalah bahwa motivasi seseorang akan memegang peranan penting dalam proses menulis. Semakin lurus motivasinya, maka tulisan akan semakin menarik untuk dibaca karena memang berangkat dari kebutuhan pembaca.
Situasi dan kondisi tertentu memang akan memengaruhi kualitas tulisan yang dihasilkan. Biasanya tulisan-tulisan yang saya anggap bagus memang saya buat ketika memang sedang semangat-semangatnya menulis, ada sesuatu yang menghentak, meledak-ledak, menuntut dikeluarkan (baca: dibagi) kepada orang lain. Barangkali semacam “kegelisahan” dalam bahasa Pak Fauzhil Adhim yang saya terjemahkan: “Saya mengetahui sesuatu, dan saya harus menuliskannya agar orang-orang mengetahuinya, karena saya tahu mereka membutuhkannya.” Maka, dalam benak saya akan terangkai alur cerita tertentu dan tugas saya adalah menuangkannya dalam bentuk tulisan. Ya, ada sesuatu yang kuat yang membuat saya harus menyelesaikannya. Ibarat berpetualang, saya sudah memegang denah menuju tempat tersebut.
Namun, menulis memang bukan sekadar soal motivasi, menulis adalah juga soal isi. Seseorang tidak akan bisa menuliskan apa yang tidak diketahuinya. Sebagaimana saya sebutkan tadi, seseorang yang tidak mengetahui letak suatu tempat, maka ia tak akan bisa memberikan gambaran di mana tempat itu berada. Kongkretnya, seorang yang tidak menguasai ilmu kedokteran misalnya, tidak akan dapat menulis tentang penyakit-penyakit medis beserta analisis-analisisnya kecuali hanya permukaan saja. Maka di sini, penguasaan informasi oleh seorang penulis akan menentukan kualitas tulisan yang ia buat. Dengan penguasaan isi yang komprehensif, seorang penulis yang motivasinya lurus akan sanggup memaparkan data-data, mengolahnya lantas menyusunnya menjadi sebuah jalinan yang saling terkait satu sama lain. Maka tidak heran jika para ulama Islam seperti ibnul Qayyim mampu menulis banyak buku yang kesemuanya bagus dan bermanfaat, karena mereka menguasai persoalannya di samping motivasinya yang lurus.
Ketiadaan input yang cukup dalam proses menulis, meski motivasi menulisnya lurus, akan mengakibatkan tulisan menjadi kurang nyaman dibaca. Data-data dan informasi, karena tidak dikuasai dengan baik oleh penulis, disajikan dengan seadanya sehingga akan terkesan asal tempel.
Namun demikian, input yang kurang ini seringkali dapat tertutup ketika kita mempunyai alasan yang kuat untuk menulis sebuah topik. Karena ketika seseorang sudah gelisah, dan ia melihat bahwa peluang untuk mengatasi semua persoalan yang membuatnya gelisah itu dapat dilakukan dengan menulis, maka ia akan menempuh semua jalan untuk mengumpulkan informasi yang mendukungnya untuk membuat tulisan. Sebagai contoh, ketika seseorang gerah dengan perayaan valentine, selain memaparkan fenomena yang lazim terjadi, ia akan terdorong untuk mencari sumber-sumber yang dapat mendukung tulisannya, misalkan sejarah valentine dengan berbagai versinya, juga fatwa-fatwa ulama terkait dengan hal ini.
Maka, jika Anda merasa kualitas tulisan Anda menurun, maka ingatlah kembali dalam kondisi semacam apa Anda pernah menuliskan sesuatu yang menurut Anda lebih baik dari yang sekarang. Apakah motivasinya sudah benar? Apakah inputnyacukup?, Apakah alur berpikir dan keruntutannya sudah baik? Apakah tulisan itu memang dibutuhkan, atau sekadar nyampah, atau hal lainnya? Luruskan motivasi maka tulisan Anda akan menemukan bentuknya. Semakin tulus motivasi Anda, maka akan semakin ia mendapat tempat di hati orang lain. Karena apa yang datang dari hati akan jatuh pula ke hati. Hanya saja memang, tulisan yang enak tidaklah sekadar masalah motivasi. Teknik dan keruntutan alur logika juga penting. Maka, motivasi yang lurus dan penguasaan teknik akan membuat tulisan kita lebih enak dan asyik untuk dinikmati. Tetapi, itu semua takkan pernah tercapai tanpa terpenuhinya syarat utama: menulislah dulu!
Selamat Menulis!
Farikhsaba
021-25022012