Alhamdulillah, sudah hari kedua
Apa saja yang telah kau kerja?
Ramadhan adalah sebuah momen yang berharga untuk mengumpulkan pundi-pundi amal. Momen yang sangat berharga, yang tak boleh sama sekali terlewat, karena entah tahun depan apakah kita masih bisa berjumpa dengannya. Di sini, di Ramadhan kita, ada kewajiban berpuasa, yang tidak seperti ibadah lainnya yang untuk kita sendiri, puasa adalah untuk Allah. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman: “Puasa itu milik-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya” (H.r. Bukhari ). Hadis tersebut menunjukkan keutamaan dan ketinggian nilai puasa di sisi Allah.
Ali ash-Shabuni di dalam kitabnya Rawa’i al-Bayan; Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, mendefinisikan puasa sebagai, “Menahan diri dari makanan, minuman, dan berjimak, yang disertai dengan niat dari mulai terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Sempurnanya puasa adalah dengan menjauhi apa-apa yang dilarang dan tidak sampai melakukan apa-apa yang diharamkan.” Ada 3 kata kunci yang menarik untuk dicermati yaitu kata “menahan”, “terbit fajar” dan “tenggelamnya matahari”. Tiga kata tersebut dapat disederhanakan menjadi menahan, sahur dan buka. Ketiga kata ini sangat terkait satu sama lain ketika hubungkan dengan praktik puasa yang dilakukan oleh generasi salafush shaleh.
Kita diwajibkan untuk menahan ketika berpuasa, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa maupun membatalkan pahala puasa sebagaimana sebagiannya telah disebutkan di dalam definisi di atas. Dalam kitab Durrah an-Nashihin disebutkan, “Ada lima perkara yang bisa membatalkan pahala puasa. Pertama, berkata dusta (al-Kidzb). Kedua, menggunjing (al-Ghibah). Ketiga, mengadu domba (an-Namimah). Keempat, bersumpah palsu (al-Yamin al-Ghamus). dan kelima, memandang penuh nafsu (an-Nadzar bi Syahwah).
Lantas, kiranya apa hubungan antara menahan dengan sahur dan buka? Ada sebuah fenomena menarik yang kiranya diamati, kita akan mendapatkan hikmah yang dalam. Rasulullah mensunnahkan ummatnya untuk makan sahur meskipun hanya dengan air putih. Sedangkan utamanya dalah dengan kurma.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.”
Dalam hal buka, Rasulullah juga mensunnahkan bahan tertentu yaitu kurma:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau minum dengan satu tegukan air” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).
Sunnah berbuka dengan kurma ini, sesungguhnya sangat menarik. Seperti diketahui bahwa makan kurma, seberapa pun laparnya, seseorang tidak akan makan sepiring penuh kurma pada sekali waktu. Ia kemungkinan hanya akan makan beberapa buah kurma ditambah air putih dan sudah merasa cukup dengannya. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan yang ada dalam masyarakat kita yang makan banyak jenis makanan, seolah semua ingin dimakan. Makan sepuasnya setelah seharian menahan diri darinya. Motivasinya adalah motivasi pelampiasan. Motivasi balas dendam karena seharian menahan diri darinya.
Maka hasil dari dua hal bertolak belakang ini dapat kita amati hasilnya setelahnya. Mereka yang berbuka dengan memakan beberapa kurma dan air putih, akan tetap mampu meneruskan ibadah isya’ dan tarawih, sedangkan mereka yang berlebihan dalam berbuka kemungkinan besar akan kalah dan tidak kuat melakukan ibadah karena kekenyangan.
Puasa adalah menahan, sebagai latihan, bukan untuk kemudian melakukan pelampiasan setelahnya, tetapi agar setelahnya tetap mampu menahan. Barangkali ini yang banyak dilupakan orang. Sehingga barangkali karena inilah setelah lebaran seolah tidak ada perubahan dan perbaikan pada masyarakat kita, karena semangatnya adalah pelampiasan. Pelampiasan setelah sebulan menahan.
Maka hanya bagi orang-orang yang dapat menahan diri, dan tidak berlebihan ketika berbuka, maupun setelah usai ramadhan saja yang berpeluang mendapat gelar taqwa.
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa” (QS Al Baqarah: 183).
Wallahu a’lam
Apa saja yang telah kau kerja?
Ramadhan adalah sebuah momen yang berharga untuk mengumpulkan pundi-pundi amal. Momen yang sangat berharga, yang tak boleh sama sekali terlewat, karena entah tahun depan apakah kita masih bisa berjumpa dengannya. Di sini, di Ramadhan kita, ada kewajiban berpuasa, yang tidak seperti ibadah lainnya yang untuk kita sendiri, puasa adalah untuk Allah. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman: “Puasa itu milik-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya” (H.r. Bukhari ). Hadis tersebut menunjukkan keutamaan dan ketinggian nilai puasa di sisi Allah.
Ali ash-Shabuni di dalam kitabnya Rawa’i al-Bayan; Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, mendefinisikan puasa sebagai, “Menahan diri dari makanan, minuman, dan berjimak, yang disertai dengan niat dari mulai terbit fajar hingga tenggelamnya matahari. Sempurnanya puasa adalah dengan menjauhi apa-apa yang dilarang dan tidak sampai melakukan apa-apa yang diharamkan.” Ada 3 kata kunci yang menarik untuk dicermati yaitu kata “menahan”, “terbit fajar” dan “tenggelamnya matahari”. Tiga kata tersebut dapat disederhanakan menjadi menahan, sahur dan buka. Ketiga kata ini sangat terkait satu sama lain ketika hubungkan dengan praktik puasa yang dilakukan oleh generasi salafush shaleh.
Kita diwajibkan untuk menahan ketika berpuasa, yaitu menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa maupun membatalkan pahala puasa sebagaimana sebagiannya telah disebutkan di dalam definisi di atas. Dalam kitab Durrah an-Nashihin disebutkan, “Ada lima perkara yang bisa membatalkan pahala puasa. Pertama, berkata dusta (al-Kidzb). Kedua, menggunjing (al-Ghibah). Ketiga, mengadu domba (an-Namimah). Keempat, bersumpah palsu (al-Yamin al-Ghamus). dan kelima, memandang penuh nafsu (an-Nadzar bi Syahwah).
Lantas, kiranya apa hubungan antara menahan dengan sahur dan buka? Ada sebuah fenomena menarik yang kiranya diamati, kita akan mendapatkan hikmah yang dalam. Rasulullah mensunnahkan ummatnya untuk makan sahur meskipun hanya dengan air putih. Sedangkan utamanya dalah dengan kurma.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sahur itu makanan yang barokah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.”
Dalam hal buka, Rasulullah juga mensunnahkan bahan tertentu yaitu kurma:
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berbuka dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat, jika tidak ada ruthab, maka beliau berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma, beliau minum dengan satu tegukan air” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah).
Sunnah berbuka dengan kurma ini, sesungguhnya sangat menarik. Seperti diketahui bahwa makan kurma, seberapa pun laparnya, seseorang tidak akan makan sepiring penuh kurma pada sekali waktu. Ia kemungkinan hanya akan makan beberapa buah kurma ditambah air putih dan sudah merasa cukup dengannya. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan yang ada dalam masyarakat kita yang makan banyak jenis makanan, seolah semua ingin dimakan. Makan sepuasnya setelah seharian menahan diri darinya. Motivasinya adalah motivasi pelampiasan. Motivasi balas dendam karena seharian menahan diri darinya.
Maka hasil dari dua hal bertolak belakang ini dapat kita amati hasilnya setelahnya. Mereka yang berbuka dengan memakan beberapa kurma dan air putih, akan tetap mampu meneruskan ibadah isya’ dan tarawih, sedangkan mereka yang berlebihan dalam berbuka kemungkinan besar akan kalah dan tidak kuat melakukan ibadah karena kekenyangan.
Puasa adalah menahan, sebagai latihan, bukan untuk kemudian melakukan pelampiasan setelahnya, tetapi agar setelahnya tetap mampu menahan. Barangkali ini yang banyak dilupakan orang. Sehingga barangkali karena inilah setelah lebaran seolah tidak ada perubahan dan perbaikan pada masyarakat kita, karena semangatnya adalah pelampiasan. Pelampiasan setelah sebulan menahan.
Maka hanya bagi orang-orang yang dapat menahan diri, dan tidak berlebihan ketika berbuka, maupun setelah usai ramadhan saja yang berpeluang mendapat gelar taqwa.
“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu puasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa” (QS Al Baqarah: 183).
Wallahu a’lam