Sabtu, 21 Mei 2011, selepas ashar, kami bertiga, anggota Gank Absurd Berakhiran ‘NI’, berangkat menuju Kota Tua atau yang dikenal sebagai Batavia Lama. Kami harus berjalan lumayan jauh ke Shelter Senayan JCC, transit di shelter Semanggi, lalu berjalan menyeberangi jembatan ke shelter Benhil dan melanjutkan perjalanan menggunakan rute bus Koridor I hingga tujuan akhir (Stasiun Kota).
Kami sampai di pemberhentian terakhir sekitar pukul 16.30, dan langsung beranjak menuju kompleks Museum Fatahillah, tempat keramaian berpusat. Di sepanjang jalan menjelang sampai di tempat tersebut dijajakan pelbagai barang, mulai dari jam tangan, sepatu, kaos, hingga kartu perdana dan barang-barang unik lain. Ada pula mobil tua dipamerkan, dan kita bisa berfoto di atasnya. Tentu saja setelah diizinkan pemiliknya.
Setelah sampai, sejenak kami ingin menghilangkan dahaga dengan memesan minuman yang dijual di lapak-lapak di sana. Teman-teman memesan es jeruk, tapi seperti biasa, minuman saya tetap tanpa es. Harganya lumayan mahal: Rp. 5000.
Selepas itu, kami berputar-putar menikmati suasana kota tua. Ada beberapa bangunan yang kami lihat. Di antaranya adalah Museum Wayang, Museum Fatahillah, Kantor Pos, Café Batavia dan sebagainya. Sayang, museum-museum itu tidak dapat kami masuki karena sudah tutup. Kabarnya, mereka buka dari Selasa sampai Minggu pukul 09.00 – 15.00 WIB.
Museum Fatahillah juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia. Dahulu merupakan Balai Kota yang dibangun pada tahun 1707-1710 dan menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Info lebih lanjut silakan lihat di sini
Suasana di depan Museum Fatahillah begitu ramai, dan lebih ramai lagi ketika sudah gelap. Kabarnya, sering ada kegiatan seni di sini. Kita juga bisa menyewa sepeda beserta topi ala Kompeni untuk dipakai berputar-putar kompleks kota tua, atau untuk sekadar berfoto ria dengan suasana dan pakaian zaman kolonial. Beberapa bangunan masih berdiri kokoh, namun, sebagian lain sudah terlihat memprihatinkan, dan malah berbahaya, butuh perhatian pemerintah untuk restorasi.
Oya, satu hal yang cukup menarik di lokasi ini, banyak pasangan yang datang dengan kostum khusus untuk melakukan foto pre-wedding. Saya tidak habis pikir juga, karena pengambilan gambar dilakukan di lokasi yang gelap dan seram, serasa memasuki wahana rumah hantu. Tapi biarlah, itu urusan mereka.
Selepas shalat Maghrib, kami menuju Jembatan Kota Intan. Jembatan ini dibangun pada tahun 1628 dengan nama Engelse Burg yang berarti “Jembatan Inggris” karena jembatan ini menghubungkan Benteng Belanda dan Benteng Inggris yang terletak berseberangan dibatasi oleh Kali Besar – Kali Ciliwung. Setelah mengalami perbaikan dan perubahan nama berkali-kali, setelah proklamasi kemerdekaan RI nama jembatan ini diganti menjadi ”Jembatan Kota Intan”, disesuaikan dengan nama lokasi setempat. Letak Jembatan Kota Intan berada dekat dengan salah satu bastion Kastil Batavia yang bernama Bastion Diamont (Intan). Kastil Batavia yang merupakan kota tua Batavia sering disebut sebagai Kota Intan. Keterangan lebih lanjut lihat di sini.
Kami sampai di pemberhentian terakhir sekitar pukul 16.30, dan langsung beranjak menuju kompleks Museum Fatahillah, tempat keramaian berpusat. Di sepanjang jalan menjelang sampai di tempat tersebut dijajakan pelbagai barang, mulai dari jam tangan, sepatu, kaos, hingga kartu perdana dan barang-barang unik lain. Ada pula mobil tua dipamerkan, dan kita bisa berfoto di atasnya. Tentu saja setelah diizinkan pemiliknya.
Setelah sampai, sejenak kami ingin menghilangkan dahaga dengan memesan minuman yang dijual di lapak-lapak di sana. Teman-teman memesan es jeruk, tapi seperti biasa, minuman saya tetap tanpa es. Harganya lumayan mahal: Rp. 5000.
- Museum Wayang
Selepas itu, kami berputar-putar menikmati suasana kota tua. Ada beberapa bangunan yang kami lihat. Di antaranya adalah Museum Wayang, Museum Fatahillah, Kantor Pos, Café Batavia dan sebagainya. Sayang, museum-museum itu tidak dapat kami masuki karena sudah tutup. Kabarnya, mereka buka dari Selasa sampai Minggu pukul 09.00 – 15.00 WIB.
Museum Fatahillah juga dikenal sebagai Museum Sejarah Jakarta atau Museum Batavia. Dahulu merupakan Balai Kota yang dibangun pada tahun 1707-1710 dan menyerupai Istana Dam di Amsterdam, terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat serta bangunan sanding yang digunakan sebagai kantor, ruang pengadilan, dan ruang-ruang bawah tanah yang dipakai sebagai penjara. Info lebih lanjut silakan lihat di sini
Suasana di depan Museum Fatahillah begitu ramai, dan lebih ramai lagi ketika sudah gelap. Kabarnya, sering ada kegiatan seni di sini. Kita juga bisa menyewa sepeda beserta topi ala Kompeni untuk dipakai berputar-putar kompleks kota tua, atau untuk sekadar berfoto ria dengan suasana dan pakaian zaman kolonial. Beberapa bangunan masih berdiri kokoh, namun, sebagian lain sudah terlihat memprihatinkan, dan malah berbahaya, butuh perhatian pemerintah untuk restorasi.
Oya, satu hal yang cukup menarik di lokasi ini, banyak pasangan yang datang dengan kostum khusus untuk melakukan foto pre-wedding. Saya tidak habis pikir juga, karena pengambilan gambar dilakukan di lokasi yang gelap dan seram, serasa memasuki wahana rumah hantu. Tapi biarlah, itu urusan mereka.
Selepas shalat Maghrib, kami menuju Jembatan Kota Intan. Jembatan ini dibangun pada tahun 1628 dengan nama Engelse Burg yang berarti “Jembatan Inggris” karena jembatan ini menghubungkan Benteng Belanda dan Benteng Inggris yang terletak berseberangan dibatasi oleh Kali Besar – Kali Ciliwung. Setelah mengalami perbaikan dan perubahan nama berkali-kali, setelah proklamasi kemerdekaan RI nama jembatan ini diganti menjadi ”Jembatan Kota Intan”, disesuaikan dengan nama lokasi setempat. Letak Jembatan Kota Intan berada dekat dengan salah satu bastion Kastil Batavia yang bernama Bastion Diamont (Intan). Kastil Batavia yang merupakan kota tua Batavia sering disebut sebagai Kota Intan. Keterangan lebih lanjut lihat di sini.
Sungai Ciliwung di mana terdapat Jembatan Kota Intan ini sejatinya bisa menjadi nilai plus bagi kota tua. Sayangnya, air Sungai Ciliwung ini sangat kotor dan baunya sangat menusuk hidung, sehingga selain mengurangi estetika, juga mengurangi kenyamanan dalam menikmati suasana bangunan-bangunan kuno di kota tua ini. Entah kapan, kita bisa menikmati duduk di pinggir sungai yang menyimpan sejarah tinggi ini sambil menikmati alirannya yang bening dan tanpa disertai bau busuk yang menyengat.
Dari Jembatan kami kembali ke kawasan Museum Fatahillah. Malam sudah menjelang dan perut sudah minta diisi. Kami tertarik mencoba Kerak Telur. Telur bebek/ayam dicampur dengan kelapa atau semacam srundeng, dan sepertinya digoreng tanpa minyak. Cukup enak, tapi ternyata mahal. Kami harus merogoh kocek Rp. 12.000 untuk menikmatinya. Merasa belum kenyang, kami pun memesan ketoprak. Harganya lebih murah. Rp. 8000. Masih harga standar, karena di dekat kos harganya juga segitu. Setelah kenyang, kami lantas memutuskan untuk pulang. Berharap kali lain dapat ke sana lagi dan bisa masuk ke museumnya.
Tapi ternyata, petualangan Gank Absurd Berakhiran “Ni” belum berhenti sampai di situ. Karena bingung, kami tidak berhenti di tempat seharusnya sehingga harus muter-muter jalan kaki, salah naik bis, tanya sana-sini, hingga akhirnya sampai kos sekitar pukul 22.30. Perjalanan yang melelahkan, tapi mengasyikkan.
Dari Jembatan kami kembali ke kawasan Museum Fatahillah. Malam sudah menjelang dan perut sudah minta diisi. Kami tertarik mencoba Kerak Telur. Telur bebek/ayam dicampur dengan kelapa atau semacam srundeng, dan sepertinya digoreng tanpa minyak. Cukup enak, tapi ternyata mahal. Kami harus merogoh kocek Rp. 12.000 untuk menikmatinya. Merasa belum kenyang, kami pun memesan ketoprak. Harganya lebih murah. Rp. 8000. Masih harga standar, karena di dekat kos harganya juga segitu. Setelah kenyang, kami lantas memutuskan untuk pulang. Berharap kali lain dapat ke sana lagi dan bisa masuk ke museumnya.
Tapi ternyata, petualangan Gank Absurd Berakhiran “Ni” belum berhenti sampai di situ. Karena bingung, kami tidak berhenti di tempat seharusnya sehingga harus muter-muter jalan kaki, salah naik bis, tanya sana-sini, hingga akhirnya sampai kos sekitar pukul 22.30. Perjalanan yang melelahkan, tapi mengasyikkan.