Pagi ini saya kembali mengikuti upacara bendera setelah lama tidak melakukannya pasca lulus SMA. Dalam upacara yang dilakukan dalam rangka memperingati hari Kebangkitan Nasional ke-103 tanggal 20 Mei 2011 ini, terdapat hal unik sekaligus mengelitik pada salah satu sesinya. Satu sesi yang sebenarnya sudah biasa saya ikuti sejak SD hingga SMA setiap hari senin. Sebuah sesi di mana kita diperdengarkan sebuah instrumen atau nyayian, sebuah sesi bernama mengheningkan cipta.
Meski sudah lama melakukannya tanpa tanya, tetapi pagi ini saya benar-benar tergelitik untuk bertanya, sebenarnya apa yang seharusnya dilakukan kala mengheningkan cipta? Apakah kita hanya disuruh mendengarkan alunan instrumen atau nyanyian yang diperdengarkan? Ataukah seperti instruksi Pembina Upacara: “Marilah kita mengheningkan cipta untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan.” Jika bisa kembali ke masa SD dahulu, sangat ingin saya menanyakannya. (ada yang bersedia menanyakannya pada Bapak/Ibu Guru? Nanti kasih tahu jawabannya pada saya ya..)
Secara bahasa, kata mengheningkan cipta terdiri dari dua kata dasar, yaitu hening dan cipta. Hening, mengheningkan mengandung arti diam; sunyi; sepi; lengang, atau merenungkan (mengenangkan) sesuatu. Sementara cipta bermakna “kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yg baru; angan-angan yg kreatif.” Kamus Besar Bahasa Indonesia berbaik hati memasukkan frase mengeheningkan cipta ini menjadi salah satu sub-entrinya, yang kemudian dimaknai sebagai “bertafakur; diam merenung arwah; bersemadi.” Artinya, kurang lebih selama masa diperdengarkan instrumen atau lagu itu kita diminta merenungkan jasa-jasa dan perjuangan para pahlawan negeri ini, persis seperti instruksi yang disampaikan Pembina Upacara.
Namun ternyata fakta di lapangan berbicara lain, kebanyakan peserta upacara justru tidak melakukan hal ini dengan benar. Di Yahoo Answer misalnya dinyatakan sebagai jawaban terbaik untuk pertanyaan ini adalah ngelamun. Sementara di Kaskus, karena tidak ada jawaban terbaik, disebutkan rata-rata seperti: lihat ke bawah, lihat sepatu, ngantuk, merem, ngejahilin teman, dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas di atas juga sering saya temui, bahkan itulah yang paling lazim terjadi. Tentunya, maksud baik dari aktivitas mengheningkan cipta ini menjadi rusak dan tidak produktif.
Melihat kenyataan ini, tentunya aktivitas ini menjadi sesuatu yang naïf. Sebab, mengenang jasa pahlawan bukanlah dengan sekadar diam mendengarkan instrument atau lagu selama kurang lebih 4 menit, tetapi mengenang mereka justru diharapkan dilakukan dengan tindakan nyata, yaitu dengan memajukan kehidupan bangsa, bertindak professional di segala bidang, dan sebagainya. Sebab, mereka dahulu berjuang demi bangsa ini bukan karena ingin dikenang selama 4 menit setiap Senin atau pada peringatan hari besar lain. Maka, semangatnyalah yang perlu kita contoh, bukan dengan mengalokasikan waktu selama 4 menit dan setelah itu lupa, tetapi selama 24 jam dalam setiap aktivitas kita.
Namun, satu pertanyaan tersisa di benak saya adalah, sebenarnya apa yang seharusnya dilakukan kala mengheningkan cipta? Apakah ini relevan untuk dilakukan?
Farikhsaba
B-210511
Meski sudah lama melakukannya tanpa tanya, tetapi pagi ini saya benar-benar tergelitik untuk bertanya, sebenarnya apa yang seharusnya dilakukan kala mengheningkan cipta? Apakah kita hanya disuruh mendengarkan alunan instrumen atau nyanyian yang diperdengarkan? Ataukah seperti instruksi Pembina Upacara: “Marilah kita mengheningkan cipta untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan.” Jika bisa kembali ke masa SD dahulu, sangat ingin saya menanyakannya. (ada yang bersedia menanyakannya pada Bapak/Ibu Guru? Nanti kasih tahu jawabannya pada saya ya..)
Secara bahasa, kata mengheningkan cipta terdiri dari dua kata dasar, yaitu hening dan cipta. Hening, mengheningkan mengandung arti diam; sunyi; sepi; lengang, atau merenungkan (mengenangkan) sesuatu. Sementara cipta bermakna “kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yg baru; angan-angan yg kreatif.” Kamus Besar Bahasa Indonesia berbaik hati memasukkan frase mengeheningkan cipta ini menjadi salah satu sub-entrinya, yang kemudian dimaknai sebagai “bertafakur; diam merenung arwah; bersemadi.” Artinya, kurang lebih selama masa diperdengarkan instrumen atau lagu itu kita diminta merenungkan jasa-jasa dan perjuangan para pahlawan negeri ini, persis seperti instruksi yang disampaikan Pembina Upacara.
Namun ternyata fakta di lapangan berbicara lain, kebanyakan peserta upacara justru tidak melakukan hal ini dengan benar. Di Yahoo Answer misalnya dinyatakan sebagai jawaban terbaik untuk pertanyaan ini adalah ngelamun. Sementara di Kaskus, karena tidak ada jawaban terbaik, disebutkan rata-rata seperti: lihat ke bawah, lihat sepatu, ngantuk, merem, ngejahilin teman, dan sebagainya. Aktivitas-aktivitas di atas juga sering saya temui, bahkan itulah yang paling lazim terjadi. Tentunya, maksud baik dari aktivitas mengheningkan cipta ini menjadi rusak dan tidak produktif.
Melihat kenyataan ini, tentunya aktivitas ini menjadi sesuatu yang naïf. Sebab, mengenang jasa pahlawan bukanlah dengan sekadar diam mendengarkan instrument atau lagu selama kurang lebih 4 menit, tetapi mengenang mereka justru diharapkan dilakukan dengan tindakan nyata, yaitu dengan memajukan kehidupan bangsa, bertindak professional di segala bidang, dan sebagainya. Sebab, mereka dahulu berjuang demi bangsa ini bukan karena ingin dikenang selama 4 menit setiap Senin atau pada peringatan hari besar lain. Maka, semangatnyalah yang perlu kita contoh, bukan dengan mengalokasikan waktu selama 4 menit dan setelah itu lupa, tetapi selama 24 jam dalam setiap aktivitas kita.
Namun, satu pertanyaan tersisa di benak saya adalah, sebenarnya apa yang seharusnya dilakukan kala mengheningkan cipta? Apakah ini relevan untuk dilakukan?
Farikhsaba
B-210511