Data Buku:
Judul Buku : Glonggong
Pengarang : Junaedi Setyono
Penerbit : Serambi
Tahun terbit : 2007
Pertama kali membacanya, ingatan saya tertuju pada daging. Ya, daging gelonggongan. Namun ternyata bukan. Glonggong adalah pedang-pedangan yang terbuat dari pelepah daun pepaya. Dalam masyarakat jawa, atau setidaknya menurut karya karangan Junaedi Setyono yang berjudulkan istilah yang sama, permainan glonggong ini banyak dimainkan oleh anak-anak di wilayah kerajaan Mataram Islam. Anak-anak biasanya memilih glonggong yang sudah agak kekuningan sebagai senjata mereka. Bagaimana aturan mainnya? Anak-anak akan berhadap-hadapan, mereka harus berhasil melumpuhkan lawannya dengan sabetan glonggongnya. Sasaran utamanya adalah muka. Jika seorang anak terkena sabetan di mukanya, maka ia harus pura-pura mati dan menjatuhkan diri. Ia hanya boleh bangun jika sang pemenang telah membimbingnya untuk beranjak. Beruntung jika tempat jatuhnya adalah rumput tebal yang empuk, jika tempat jatuhnya adalah tanah berkerikil atau kotoran kerbau yang masih hangat maka sungguh celaka, karena menurut peraturan ia tidak boleh beranjak sebelum dibimbing bangun oleh sang pemenang.
Glonggong, Sebuah novel karangan Junaedi Setyono, salah satu pemenang lomba novel DKJ 2006 ini, bertutur tentang kehidupan di masa De Java Oorlog (1825 – 1830), sebuah perang legendaris yang berlangsung selama lima tahun dan membangkrutkan negeri Belanda. Korbannya? Sangat banyak, orang pribumi yang menjadi antek belanda 7000 orang, belanda sendiri kehilangan 8.000 orang, sedangkan total orang jawa yang meninggal sebanyak 200.000 jiwa. Separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.
Meski mengambil setting Perang Diponegoro, novel ini hidup dengan tokohnya sendiri—salah satu kenikmatan membaca novel bersetting sejarah selain menikmati imaginasi pengarang, kita juga diingatkan dengan data-data sejarah yang nyata; mencermati keakuratan data-data ini merupakan keasyikan tersendiri—di mana fokus cerita ada pada Glonggong, sang pelaku utama. Tokoh yang bernama asli Danukusuma ini sebanarnya masih keturunan ningrat, tapi ia lebih dekat dengan kehidupan rakyat jelata karena sejak kecil ia telah ditinggal ayahnya yang tidak diketahui kabarnya sejak ikut pemberontakan Raden Rangga. Ibunya memutuskan untuk menikah lagi dengan Raden Suwanda. Sejak ditinggal ayahnya, sang ibu lebih banyak termenung dan mengurung diri di kamar. Jika ayah tirinya tidak ada, maka Glonggong diajak ibunya ke kamar untuk diajari Nembang Macapat.
Masa kecil yang pahit itu sedikit terobati dengan kesukaannya bermain glonggong dan membaca aksara jawa sambil Nembang Macapat. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang lincah dan tangkas, namun di sisi lain tidak bahagia. Suatu ketika, ketika bertanding dengan Raden Surya, Pangeran Antawirya memuji caranya bermain glonggong dan memanggilnya glonggong. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai Glonggong. Bahkan kelak dengan pedang glonggong yang diberikan oleh Surya dan Hendrik (orang Belanda) ia terkenal dengan sebutan Pendekar Glonggong.
Selain bermain glonggong dan nembang, ia juga mulai dekat dengan Kiai Ngali, ayah Suta, temannya bermain Glonggong. Kiai Ngali mengajari banyak hal tentang keislaman. Di mana ajaran inilah yang banyak membentuk kepribadiannya menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah. Kisah hidupnya berubah drastis setelah ibunya disingkirkan secara halus oleh Raden Suwanda dari rumahnya. Ibunya mulai sakit-sakitan, belum lagi ia harus berkonflik dengan Prayitna, keponakan Suwanda. Rumahnya dibakar, ia tidak berhasil menyelamatkan ibunya. Beruntung ia berhasil selamat dan bekerja sebagai pengawal di Pringgiwinatan, di tempat pamannya Surya.
Dari profesinya sebagai pengawal inilah petualangannya berlanjut. Ia akhirnya mengetahui kebobrokan pejabat pada waktu itu. Bagaimana para pangeran dari putra ibu suri lebih suka menghambur-hamburkan uang, main perempuan dan hal-hal tak pantas lain. Ndalem Pringgiwinatan tempat ia bekerja pun ternyata tak jauh dari mental pengkhianat. Mereka yang tadinya mendukung Sultan Ngabdulkamid yang membela rakyat itu ternyata juga membelot karena melihat peluang menang lebih besar di pihak belanda. Dan ternyata yang berpendapat seperti ini banyak. Bahkan Kiai ngali yang semula ia kagumi pun, ternyata juga menjadi antek Belanda. Ya, digambarkan pelacuran diri terhadap kekuasaan yang dilakukan bukan hanya oleh kalangan pejabat, tetapi juga para ulama. Dan ternyata, perilaku yang sama ditiru oleh cucu moyangnya kelak, saat bangsa itu telah menyebut dirinya bangsa Indonesia.
Gelonggong, novel ini secara tersirat juga tersurat (meski agak samar) mencoba mengangkat fenomena Perang Diponegoro bukan hanya sebagai sebuah perang karena perebutan tanah. Bahwa sebenarnya perang ini adalah sebuah jihad untuk menegakkan kebenaran, yang kadang memang harus dibayar mahal. Yang kemudian tidak jarang membuat para oportunis banyak yang menyeberang (baca: berkhianat). Sebuah perang yang berakhir dengan licik: Parapatan Agung di Magelang, di mana Glonggong terlambat menyerahkan harta Sultan Ngabdulkamid yang berhasil direbutnya kembali dari penjahat.