Surat cinta itu telah sampai di tanganku. Surat cinta-Mu.. Ya, surat cinta yang untuk mengantarkannya padaku Kau minta utusan terbaik-Mu. Surat yang seharusnya kuterima dengan sepenuh kalbu. Surat yang harusnya kubaca di saat kurindu kepada-Mu; sebagai bukti cintaku.
Di sana Kau bertutur tentang negeri-negeri indah yang Kau janjikan padaku kelak akan mengajakku ke sana. Negeri yang luar biasa; tiada duanya. Kau gambarkan bahwa sungai-sungainya adalah aliran susu, aku tinggal menciduk untuk meminumnya, pohon-pohonnya sangat teduh, rumah-rumahnya begitu indah, sedangkan penduduknya memakai pula pakaian yang indah-indah.
Kau tahu, aku sangat ingin ke sana; segera malah.. Namun Kau melarangku. “Berbuat baiklah dulu buat sekitarmu,” pesan-Mu.
Dalam surat-Mu, Kau juga bercerita tentang orang-orang saleh jaman dulu. Orang-orang yang luar biasa istiqamah, seperti Ibrahim, Musa, Isa, Yusuf, Ayub, dan lainnya. Cerita-Mu itu selalu membuatku iri; begitu indahnya perangai dan tingkah laku mereka, hingga aku merasa takkan dapat untuk sekadar mendekatinya. Namun kau menghiburku, “Kisah itu Aku ceritakan agar kau dapat mengambil pelajaran.”
Yang aku suka dari surat-Mu adalah banyaknya hikmah yang aku dapatkan, Kau mengajariku bagaimana bersikap, bagaimana seharusnya menjalani hidup ini, meski kadang aku belum mampu seperti yang Kau gambarkan. Kadang aku tersesat, namun Kau selalu menghibur dan. menunjukkan jalan kepadaku. Tetapi seringkali petunjukmu itu tak kuturuti, sehingga aku tersesat lebih jauh lagi. Kau juga mengajariku bagaimana bersikap kala aku sedang kesusahan. “Bersama kesusahan itu selalu ada kemudahan,” pesan-Mu, yang akan kuingat slalu.
Namun Kau tahu, ada kalanya aku terperosok terlalu dalam, bahkan tak jarang aku melupakan-Mu. Seringkali di saat-saat sibukku, di saat-saat senangku, aku melupakan-Mu. Seolah aku hanya kembali kepada-Mu saat aku sedang butuh, saat aku sedang memerlukan-Mu. Tapi Kau tidak marah, bahkan Kau selalu menyambutku dengan gembira dan memberikan pertolongan tulus-Mu, sesuai dengan porsi yang bisa kuraih.
Surat cinta-Mu begitu indah dan seharusnya bisa membuatku untuk sering membacanya kala rindu. Namun apa daya, kadang kesibukan membuatku tak bisa, bahkan untuk sekadar menyentuhnya. Tak jarang, aku lebih memedulikan SMS dari kawan-kawanku, dan mengesampingkan surat-Mu. Apakah rindu itu masih ada? Kadang pertanyaan yang lebih mengerikan menyeruak dalam hatiku, pertanyaan yang membuatku khawatir, “Apakah aku mencintai-Mu dengan setulus hatiku?”
Pernah kudapati kau menyayangkanku yang seperti tak menghargai-Mu, “ Tidakkah engkau malu kepadaku? Engkau mendapatkan surat dari salah seorang saudaramu ketika berjalan di salah satu jalan, kemudian engkau minggir ke samping jalan untuk duduk membacanya, dan merenungkannya kata demi kata, hingga tidak ada satu kata pun yang terlewatkan darimu. Padahal ini adalah kitab-Ku yang Aku turunkan kepadamu. Lihatlah, bagaimana Aku merinci untukmu firman di dalamnya? Betapa seringnya Aku berkata berulang-ulang kepadamu agar engkau merenungkan panjangnya kitab-Ku, lebarnya, namun engkau malah berpaling daripadanya. Aku menjadi lebih hina bagimu daripada salah seorang saudaramu. Wahai hambaku, salah seorang saudaramu duduk kepadamu, kemudian engkau menghadapkan seluruh wajahmu kepadanya, dan engkau mendengarkan seluruh perkataannya dengan hatimu. Jika seseorang berbicara, atau mengganggumu sehingga engkau tidak bisa mendengarkan perkataannya, engkau pasti member isyarat kepadanya agar ia menahan diri. Inilah, Aku datang kepadamu, dengan berfirman kepadamu, tragisnya engkau malah berpaling dengan seluruh hatimu daripada-Ku. Apakah engkau menjadikan-Ku lebih hina daripada salah seorang saudaramu?”*
Rabb, maafkan aku, jika selama ini lebih mengutamakan kawan-kawanku daripada diri-Mu—padahal masih terngiang dalam ingatanku akan sumpahku dahulu kepada-Mu, “Aku mencintai-Mu lebih dari segala apa pun di dunia ini.” Semoga itu bukan tutur kosong yang tak bermutu.
Yang mengharapkan kasih-Mu
) *Firman Allah dalam taurat. dikutip dari Al-Jazairi, A. B. (2000). Ensiklopedi Muslim (Cet. 11). Jakarta: Darul Falah.
Di sana Kau bertutur tentang negeri-negeri indah yang Kau janjikan padaku kelak akan mengajakku ke sana. Negeri yang luar biasa; tiada duanya. Kau gambarkan bahwa sungai-sungainya adalah aliran susu, aku tinggal menciduk untuk meminumnya, pohon-pohonnya sangat teduh, rumah-rumahnya begitu indah, sedangkan penduduknya memakai pula pakaian yang indah-indah.
Kau tahu, aku sangat ingin ke sana; segera malah.. Namun Kau melarangku. “Berbuat baiklah dulu buat sekitarmu,” pesan-Mu.
Dalam surat-Mu, Kau juga bercerita tentang orang-orang saleh jaman dulu. Orang-orang yang luar biasa istiqamah, seperti Ibrahim, Musa, Isa, Yusuf, Ayub, dan lainnya. Cerita-Mu itu selalu membuatku iri; begitu indahnya perangai dan tingkah laku mereka, hingga aku merasa takkan dapat untuk sekadar mendekatinya. Namun kau menghiburku, “Kisah itu Aku ceritakan agar kau dapat mengambil pelajaran.”
Yang aku suka dari surat-Mu adalah banyaknya hikmah yang aku dapatkan, Kau mengajariku bagaimana bersikap, bagaimana seharusnya menjalani hidup ini, meski kadang aku belum mampu seperti yang Kau gambarkan. Kadang aku tersesat, namun Kau selalu menghibur dan. menunjukkan jalan kepadaku. Tetapi seringkali petunjukmu itu tak kuturuti, sehingga aku tersesat lebih jauh lagi. Kau juga mengajariku bagaimana bersikap kala aku sedang kesusahan. “Bersama kesusahan itu selalu ada kemudahan,” pesan-Mu, yang akan kuingat slalu.
Namun Kau tahu, ada kalanya aku terperosok terlalu dalam, bahkan tak jarang aku melupakan-Mu. Seringkali di saat-saat sibukku, di saat-saat senangku, aku melupakan-Mu. Seolah aku hanya kembali kepada-Mu saat aku sedang butuh, saat aku sedang memerlukan-Mu. Tapi Kau tidak marah, bahkan Kau selalu menyambutku dengan gembira dan memberikan pertolongan tulus-Mu, sesuai dengan porsi yang bisa kuraih.
Surat cinta-Mu begitu indah dan seharusnya bisa membuatku untuk sering membacanya kala rindu. Namun apa daya, kadang kesibukan membuatku tak bisa, bahkan untuk sekadar menyentuhnya. Tak jarang, aku lebih memedulikan SMS dari kawan-kawanku, dan mengesampingkan surat-Mu. Apakah rindu itu masih ada? Kadang pertanyaan yang lebih mengerikan menyeruak dalam hatiku, pertanyaan yang membuatku khawatir, “Apakah aku mencintai-Mu dengan setulus hatiku?”
Pernah kudapati kau menyayangkanku yang seperti tak menghargai-Mu, “ Tidakkah engkau malu kepadaku? Engkau mendapatkan surat dari salah seorang saudaramu ketika berjalan di salah satu jalan, kemudian engkau minggir ke samping jalan untuk duduk membacanya, dan merenungkannya kata demi kata, hingga tidak ada satu kata pun yang terlewatkan darimu. Padahal ini adalah kitab-Ku yang Aku turunkan kepadamu. Lihatlah, bagaimana Aku merinci untukmu firman di dalamnya? Betapa seringnya Aku berkata berulang-ulang kepadamu agar engkau merenungkan panjangnya kitab-Ku, lebarnya, namun engkau malah berpaling daripadanya. Aku menjadi lebih hina bagimu daripada salah seorang saudaramu. Wahai hambaku, salah seorang saudaramu duduk kepadamu, kemudian engkau menghadapkan seluruh wajahmu kepadanya, dan engkau mendengarkan seluruh perkataannya dengan hatimu. Jika seseorang berbicara, atau mengganggumu sehingga engkau tidak bisa mendengarkan perkataannya, engkau pasti member isyarat kepadanya agar ia menahan diri. Inilah, Aku datang kepadamu, dengan berfirman kepadamu, tragisnya engkau malah berpaling dengan seluruh hatimu daripada-Ku. Apakah engkau menjadikan-Ku lebih hina daripada salah seorang saudaramu?”*
Rabb, maafkan aku, jika selama ini lebih mengutamakan kawan-kawanku daripada diri-Mu—padahal masih terngiang dalam ingatanku akan sumpahku dahulu kepada-Mu, “Aku mencintai-Mu lebih dari segala apa pun di dunia ini.” Semoga itu bukan tutur kosong yang tak bermutu.
Yang mengharapkan kasih-Mu
) *Firman Allah dalam taurat. dikutip dari Al-Jazairi, A. B. (2000). Ensiklopedi Muslim (Cet. 11). Jakarta: Darul Falah.
kalo kasih kan buat semua makhluq..
ReplyDeletear-rahman..
tapi ar-rahiim.. buat "yang terpilih"
nggih mboten?
cmiiw
Yup, begitulah...
ReplyDeleteTerima kasihh sudah mampir :)